Lintas Info Terpenting – Peneliti BRIN ungkap Penggunaan sel surya mengalami pertumbuhan pesat, dengan rata-rata kenaikan 40 persen setiap tahun, menjadikannya teknologi kunci dalam dekarbonisasi global. Meski Indonesia memiliki potensi energi surya mencapai 283 gigawatt, pemanfaatannya masih tertinggal dibandingkan sumber energi lain.
Menurut Profesor Riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Natalita Maulani Nursam, teknologi sel surya telah berkembang dari generasi pertama yang berbasis silikon kristal ke generasi ketiga dengan material baru. Generasi pertama didominasi oleh sel surya silikon kristal, yang menghadapi tantangan biaya tinggi dan kekakuan material, sehingga tidak fleksibel dan tidak efektif dalam cahaya redup.
Baca Juga : Google Luncurkan Gemini Live: AI Interaktif untuk Percakapan Real-Time
Generasi kedua berfokus pada penggunaan material absorber yang tipis untuk mengurangi biaya, tetapi beberapa material ini bersifat beracun, menimbulkan kekhawatiran kesehatan dan lingkungan.
Generasi ketiga melibatkan material organik dan inorganik atau kombinasi keduanya yang disebut hybrid. Sel surya berbasis pewarna tersensitasi (DSSC) dan perovskite termasuk dalam kategori ini. Teknologi ini menawarkan proses fabrikasi yang lebih sederhana dan biaya material yang lebih rendah dibandingkan silikon.
Natalita menjelaskan bahwa optimasi performa DSSC melibatkan tiga komponen utama: fotoanoda, elektroda lawan, dan elektrolit. Inovasi meliputi modifikasi morfologi fotoanoda dengan TiO2 mesipori dan nanorod untuk mempercepat transfer elektron, rekayasa material pada elektroda lawan untuk meningkatkan konduktivitas, serta penambahan polimer dan penggunaan pelarut viskositas tinggi pada elektrolit untuk meningkatkan stabilitas. Lapisan anti-refleksi berbahan colloidal silica juga ditambahkan untuk mempertahankan performa dalam kondisi basah.
Dalam hal fabrikasi, Natalita dan timnya telah mengembangkan DSSC dengan konfigurasi monolitik, yang mengurangi biaya material karena hanya memerlukan satu substrat dibandingkan dengan struktur sandwich konvensional. Inovasi ini membuat proses produksi lebih sederhana dan lebih mudah diadaptasi oleh industri.
Selanjutnya, pengembangan material berbasis karbon untuk elektroda pada sel surya perovskite menunjukkan hasil yang menjanjikan. Elektroda karbon lebih murah dan stabil dibandingkan logam mulia, serta tahan korosi. Kombinasi elektroda karbon dan graphene oxide dapat meningkatkan efisiensi sel surya perovskite hingga lebih dari 16 persen.
Namun, Natalita mengakui bahwa tantangan utama dalam implementasi sel surya generasi ketiga adalah kestabilan, khususnya terkait enkapsulasi. Riset masa depan akan fokus pada penggunaan bahan lokal dan optimasi material untuk meningkatkan performa dan daya saing.
Natalita menekankan perlunya dukungan dari BRIN, akademisi, dan industri, serta kebijakan yang mendorong inovasi untuk mencapai target net zero emission. Sinergi antara berbagai pihak sangat penting untuk memaksimalkan potensi sel surya generasi ketiga dalam mendukung keberlanjutan energi global.
Simak Juga : EXAONE 3.0, Model AI Open Source Pertama di Korea Selatan