Lintas Info Terpenting – Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 26 Juli lalu. Terkait pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, menghadapi protes dari Asosiasi Pasar Rakyat Seluruh Indonesia (Aparsi). Keberatan utama dari Aparsi terletak pada pengaturan perdagangan produk tembakau. Khususnya larangan menjual rokok eceran dan pembatasan jarak penjualan dari institusi pendidikan serta tempat bermain anak.
Ketua Umum Aparsi, Suhendro, menyatakan bahwa ketentuan ini akan berdampak buruk terhadap keberlangsungan usaha sekitar 9 juta pedagang pasar di seluruh Indonesia. Dia menilai larangan menjual rokok eceran serta pembatasan penjualan di radius 200 meter dari sekolah dan fasilitas bermain anak akan mengancam omzet pedagang pasar, yang banyak bergantung pada penjualan produk tembakau. Suhendro memperkirakan penurunan omzet usaha mencapai 20-30 persen dan berpotensi menyebabkan penutupan usaha bagi banyak pedagang.
Suhendro juga mengkritik bahwa banyak pasar rakyat yang berlokasi dekat dengan sekolah atau fasilitas bermain, sehingga penerapan peraturan ini akan sulit dan tidak adil. Dia juga menyoroti potensi kerusakan pada rantai pasok antara pedagang grosir dan pedagang kelontong akibat regulasi yang dinilai tidak seimbang.
Baca Juga : YLKI Soroti Regulasi Penjualan Rokok Pasca Terbitnya UU Kesehatan
Presiden Jokowi telah menandatangani PP Kesehatan yang melarang penjualan rokok eceran satuan batang, kecuali cerutu dan rokok elektronik. Larangan tersebut tercantum dalam Pasal 434 ayat (1) huruf c, yang juga melarang penjualan rokok di radius 200 meter. Terhindar dari institusi pendidikan dan tempat bermain anak, serta melalui mesin layan diri dan situs web tanpa verifikasi umur. Langkah ini bertujuan menekan jumlah perokok, terutama di kalangan remaja.
Data dari Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan bahwa jumlah perokok aktif mencapai 70 juta orang, dengan 7,4% di antaranya berusia 10-18 tahun. Prevalensi perokok di usia 13-15 tahun juga meningkat dari 18,3% pada 2016 menjadi 19,2% pada 2019. Kementerian Kesehatan mencatat bahwa anak dan remaja merupakan kelompok dengan pertumbuhan perokok yang paling signifikan, yang dipicu oleh pemasaran agresif dari industri tembakau melalui media sosial dan sponsor kegiatan.
Sementara itu, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan mengungkapkan bahwa larangan penjualan rokok eceran tidak akan berdampak signifikan. Terhadap penerimaan negara dari cukai rokok. Menurut DJBC, penerimaan cukai rokok dipungut dari tingkat pabrik. Sehingga kebijakan ini lebih fokus pada upaya pengurangan prevalensi merokok dan kemudahan pengawasan, daripada dampak fiskal.
Simak Juga : Legalisasi Ganja Medis, Tren Global dan Tantangan di Indonesia